Lelah Jadi Korban, 31 Perempuan Tangsel Pilih Cerai Massal Dari Pada Lapor Polisi

By Redaksi / 31/10/2025
Keterangan foto: Korban KDRT bersama pendamping hukum usai sidang keliling Pengadilan Agama Tigaraksa di Balai Ratu Permai, Ciputat, Kamis (31/10).
Keterangan foto: Korban KDRT bersama pendamping hukum usai sidang keliling Pengadilan Agama Tigaraksa di Balai Ratu Permai, Ciputat, Kamis (31/10).

Ciputat, PortalBanten.id  |Di sebuah balai sederhana di kawasan Ratu Permai, Ciputat, puluhan perempuan duduk berjejer. Sebagian memeluk map biru berisi berkas gugatan, sebagian lain menggenggam tisu, menahan gugup.

Di mata mereka, bukan lagi air mata ketakutan, melainkan tekad untuk bebas. Hari itu, Kamis (31/10), 31 perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan resmi menempuh jalur hukum bukan untuk memenjarakan suami mereka, melainkan untuk mengakhiri pernikahan yang menyakitkan.

Mereka datang dalam sidang keliling Pengadilan Agama Tigaraksa, diselenggarakan di luar gedung pengadilan agar lebih mudah diakses. Dalam satu ruangan yang dipenuhi lirih doa dan bisik pengacara pendamping, berlangsung “cerai massal” diam-diam bukan karena tren, tapi karena trauma yang ingin diakhiri.

Langkah mereka terbilang berani, sekaligus menyedihkan. Alih-alih melapor ke kepolisian, seluruh korban justru memilih menggugat cerai. Alasannya sederhana namun menusuk: proses pidana dianggap lamban dan melelahkan, sedangkan perceraian memberi ruang untuk segera terbebas dari kekerasan.

Selama sebulan terakhir, Layanan Bantuan Hukum Majelis Hukum dan HAM (MHH) Muhammadiyah Kota Tangerang Selatan menerima 31 permohonan bantuan hukum dari perempuan korban KDRT.

“Kekerasan yang dialami beragam, mulai dari fisik, psikis, hingga penelantaran ekonomi,” ujar Sekretaris MHH, Alin Esa Priatna.

Dari jumlah itu, sembilan perempuan telah resmi mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama Tigaraksa dan menjalani sidang perdana hari ini.

Pendampingan hukum dilakukan secara kolaboratif oleh MHH Muhammadiyah Tangsel, LBH Keadilan, dan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah Tangsel.

“Keputusan mereka menggugat cerai adalah bentuk keberanian. Itu bukan sekadar perpisahan, tapi langkah penyelamatan diri,” ujar Halimah Humayrah Tuanaya, Ketua Posbakum ‘Aisyiyah Tangsel.

Sementara Direktur LBH Keadilan, Nurbayu Susandra, menegaskan pendampingan hukum sebagai bagian dari komitmen organisasi dalam memberikan akses keadilan yang nyata bagi perempuan dan anak.

“Kami pastikan proses hukum berjalan lancar bagi para korban. Ini bukan sekadar advokasi, tapi empati yang harus diwujudkan dalam sistem hukum yang berpihak,” ujarnya.

Fenomena ini menyoroti kelemahan mendasar sistem perlindungan korban KDRT di Indonesia. Banyak perempuan lebih cepat lepas dari status istri daripada mendapat perlindungan hukum dari negara.

Di Ciputat hari itu, keadilan tak hadir di ruang sidang pidana, melainkan di ruang sederhana penuh luka dan keberanian.

 

Editor: Dodi Surya 

Redaksi

Related posts

Newsletter

Dapatkan notifikasi beita terbaru.

ban11

Recent News