Serang, PortalBanten.id |Di persimpangan jalan lampu merah Parung, Kota Serang Provinsi Banten, sepasang mata pengguna jalan tak bisa berkelit dari sosok yang berselimut cat perak pekat. Ia berdiri kaku layaknya patung hidup, menanti belas kasihan saat lampu berganti merah. Namun, di balik gimmick yang serba metalik dan mencolok mata itu, tersembunyi borok paling menyakitkan dari perekonomian Banten, kekalahan generasi muda yang terpaksa menjual diri, bukan dalam arti harfiah, melainkan dalam bentuk ritual perusakan diri.
Fenomena “Manusia Silver” yang kian menjamur di jantung Serang ini bukan lagi sekadar kreativitas jalanan. Ia adalah indikator kegagalan struktural yang dibungkus ironi.
Tim Portal Banten menelusuri kisah di balik cat perak itu. Cat yang digunakan, disinyalir adalah cat sablon tekstil atau cat aluminium yang umumnya mengandung Timbal (Pb) tinggi. Setiap kali beraksi, para pelakon ini bukan hanya mempertaruhkan martabat, tetapi juga mengorbankan kulit, pernapasan, bahkan potensi kerusakan saraf jangka panjang.
“Mereka tahu ini bahaya. Tapi, pendapatan dari jadi pemulung atau kuli serabutan tak sebanding dengan kecepatan dapat uang di lampu merah,” ujar Riko (bukan nama sebenarnya), seorang pengamat sosial dari Universitas lokal. “Dalam satu jam lampu merah, mereka bisa dapat dua kali lipat upah kuli harian. Kilau perak itu memang menjanjikan, tapi harganya adalah kesehatan dan masa depan.”
Ironi paling tajam terletak pada fakta bahwa Manusia Silver adalah protes diam terhadap krisis lapangan kerja di Banten. Wilayah yang dikelilingi industri dan ibukota provinsi ini seharusnya menjadi lumbung kemakmuran, namun justru menghasilkan korban baru kemiskinan yang inovatif dalam mengemis.
Awalnya, Manusia Silver muncul sebagai gerakan sosial, meminta sumbangan untuk yayasan yatim piatu. Kini, di Serang, motif itu telah bergeser menjadi profesi pengemis mutlak. Aparat seringkali hanya melihat ini sebagai gangguan ketertiban umum, lalu merazia dan mengembalikan mereka ke Dinas Sosial. Namun, tindakan reaktif semacam itu tak pernah menyentuh akar masalah.
“Ditangkap, dibina, dilepas, kembali lagi. Itu siklusnya,” kata seorang petugas Satpol PP yang enggan disebut namanya. “Mereka bukan kriminal. Mereka itu penganggur yang kreatif. Jika tak ada pekerjaan yang lebih layak, cat perak itu akan selalu jadi solusi paling cepat.”
Aksi Manusia Silver di Parung adalah pengingat keras bagi Pemkot Serang: kemiskinan tidak akan hilang hanya dengan disapu dari jalanan. Ia akan bersembunyi dalam bentuk yang lebih mencolok, lebih berbahaya, dan lebih terorganisir. Negara punya tanggung jawab lebih dari sekadar menertibkan; Negara harus menyediakan solusi yang sepadan dengan martabat manusia, bukan sekadar karantina sosial berulang.
Cat perak itu adalah kritik cair dari masyarakat bawah. Sampai negara hadir dengan tangan yang lebih panjang dan hati yang lebih besar, patung-patung hidup dari Serang ini akan terus berdiri di persimpangan, menggugat kemakmuran yang selama ini diagungkan.
Laporan: Redaksi









