Tangerang, PortalBanten.Id | Utang memang harus dibayar, tapi menagih dengan gaya koboi jelas bukan caranya. Itulah pesan keras Kapolsek Cikupa Kompol Johan Armando Utan saat mengumpulkan empat perusahaan jasa penagihan utang (debt collector/DC) di Mapolsek Cikupa, Rabu (17/9/2025).
Belakangan, penagihan utang kerap berubah jadi tontonan jalanan. Pengendara motor dicegat, kendaraan ditarik paksa, debitur dipermalukan. Ironisnya, praktik ini seolah jadi “ritual” tahunan meski aturan hukumnya sudah jelas.
“DC dilarang menghadang pengendara di jalan. Itu melanggar hukum,” tegas Johan, seraya mengingatkan soal UU Jaminan Fidusia dan putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah berkali-kali menegaskan tata cara penarikan barang jaminan.
Namun aturan itu, tampaknya, sering dianggap angin lalu. Johan pun menekankan, penagihan harus dilengkapi dokumen resmi: kartu identitas, sertifikat pelatihan, surat tugas, bukti wanprestasi, hingga salinan sertifikat jaminan fidusia. Tanpa itu, aksi penagihan lebih mirip perampasan di jalanan ketimbang penegakan hukum.
Masalahnya, masyarakat keburu trauma. Nama “debt collector” sudah telanjur identik dengan intimidasi, kekerasan, bahkan ancaman. Johan mengingatkan, jika DC masih nekat menggunakan kekerasan, Pasal 335, 365, 368, hingga 378 KUHP siap menjerat.
“Datangi rumah debitur dengan cara yang manusiawi, bukan main keroyok di jalan,” katanya.
Pertanyaannya, beranikah para perusahaan penagih utang benar-benar menertibkan anak buahnya? Atau aturan ini lagi-lagi hanya akan jadi arsip rapi di rak hukum, sementara di jalanan, pengendara terus diburu layaknya penjahat?
Laporan: Redaksi