Demokrasi Yang Diracuni Kekuasaan Politik: Tantangan Dan Harapan Mahasiswa

By Redaksi / 18/11/2023
Screenshot_2023_1118_185213

Oleh: Lusi Farhanah

Indonesia sering dibanggakan sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Setiap lima tahun sekali, rakyat bebas memilih pemimpinnya, menyuarakan pendapat, dan berpartisipasi dalam proses politik. Namun di balik jargon manis “kedaulatan rakyat”, demokrasi kita menyimpan paradoks: kekuasaan yang seharusnya menjadi alat pengabdian justru berubah menjadi racun yang perlahan melemahkan keadilan.

 

Korupsi: Luka yang Tak Sembuh

Sebagai mahasiswa, saya sering menyaksikan berita tentang korupsi yang seolah tak pernah berakhir. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun, justru mengalir ke kantong pribadi. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap nilai moral demokrasi. Ketika kepercayaan publik runtuh, sistem politik kehilangan legitimasi. Demokrasi pun hanya menjadi formalitas tanpa ruh moral.

 

Uang Mengatur Politik

Fenomena lain yang merusak sendi demokrasi adalah dominasi uang dalam politik. Biaya kampanye yang tinggi menjadikan dunia politik hanya bisa diakses oleh mereka yang berkantong tebal. Uang menjadi tiket menuju kekuasaan, sementara idealisme dan integritas sering tersingkir. Rakyat kecil akhirnya hanya menjadi penonton dalam pesta demokrasi yang mahal. Politik pun kehilangan makna sebagai ruang pengabdian, bergeser menjadi investasi kekuasaan.

 

Representasi yang Tak Adil

Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat seharusnya menjadi cermin aspirasi rakyat. Namun dalam praktiknya, sistem representasi kita masih jauh dari kata adil. Hasil pemilu tidak selalu mencerminkan kehendak mayoritas. Kadang, suara rakyat tergantikan oleh strategi dan manuver politik yang menyesatkan. Demokrasi menjadi cacat ketika perwakilan rakyat tak lagi mendengar suara rakyat.

 

Media dan Manipulasi Opini

Media massa seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi penjaga kebenaran dan pengontrol kekuasaan. Namun kini, sebagian media justru terjebak dalam kepentingan politik dan ekonomi. Berita disusun bukan lagi berdasarkan nilai objektivitas, melainkan keberpihakan. Akibatnya, opini publik sering dimanipulasi untuk menguntungkan pihak tertentu. Demokrasi kehilangan rasionalitasnya ketika kebenaran bisa diperjualbelikan.

 

Mahasiswa: Penjaga Nurani Demokrasi

Di tengah kemunduran moral politik ini, mahasiswa tetap menjadi harapan terakhir. Aktivisme mahasiswa bukan hanya turun ke jalan, tetapi juga berpikir kritis, menulis gagasan, dan mengedukasi masyarakat. Mahasiswa adalah suara nurani bangsa  mereka yang berani menantang status quo dan mengingatkan bahwa kekuasaan sejati adalah tanggung jawab, bukan hak istimewa.

Gerakan mahasiswa memiliki sejarah panjang dalam menjaga arah bangsa, dari reformasi 1998 hingga berbagai aksi sosial di era digital kini. Namun tantangan mahasiswa modern berbeda: bukan hanya melawan penguasa, tetapi juga melawan apatisme dan manipulasi informasi. Di era banjir data, mahasiswa harus menjadi garda depan literasi politik dan media.

 

Penutup

Demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan cerminan moral bangsa. Ia akan sehat bila dijalankan dengan kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Tetapi jika dibiarkan diracuni oleh korupsi, uang, dan manipulasi media, demokrasi hanya akan menjadi topeng bagi kekuasaan.

Sebagai mahasiswa, saya percaya perubahan sejati tidak datang dari mereka yang berkuasa, tetapi dari mereka yang berani mengoreksi kekuasaan. Tugas kita bukan hanya belajar di ruang kuliah, melainkan menjaga agar demokrasi tetap berpihak pada rakyat bukan pada segelintir elite.

Selama masih ada mahasiswa yang berpikir kritis dan bertindak dengan nurani, harapan untuk demokrasi yang lebih jujur dan manusiawi akan tetap hidup.

 

Penulis adalah Mahasiswi Semester Satu Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Redaksi

Related posts

Newsletter

Dapatkan notifikasi beita terbaru.

ban11

Recent News